I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki wilayah perairan yang cukup luas. Ini membuat Indonesia memiliki jenis ikan yang beranekaragam. Salah satu yang cukup populer adalah ikan baung. Ikan baung hidup di perairan ikan tawar. Ikan ini memiliki sebutan yang berbeda di setaip daerah. Ikan baung menjadi ikan yang cukup digemari masyarakat karena tekstur daging yang lembut, tebal tanpa duri halus dan berwarna putih.
Ikan baung merupakan salah satu jenis ikan konsumsi yang bernilai
protein tinggi, sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Akan tetapi, ikan Baung hanya didapatkan dari penangkapan di alam bebas. Untuk mencegah terjadinya
eksploitasi yang berlebihan pada ikan Baung, akhirnya para pembudidaya ikan mulai melakukan
pembenihan dan pembesaran ikan Baung. Tujuan pengembangan ini adalah untuk menjaga kelestarian habitat ikan Baung itu sendiri karena sampai saat ini produksi ikan baung kebanyakan hanya dapat diperoleh dari alam bebas dikarenakan para pembudidaya ikan yang baru mulai berkembang setelah ditemukan teknik budidaya baung yang intensif, sehingga bukan tidak mungkin akan terjadi eksploitasi yang berlebihan pada ikan ini (Gaffar, 1998). Untuk itu perlu dilakukan perbanyakan keturunan terhadap ikan ini untuk mencegah terjadinya kepunahan.
II. MENGENAL IKAN BAUNG
2.1. Klasifikasi Ikan Baung
Ikan baung di klasifikasikan
ke dalam :
§ Phylum : Chordata
§ Kelas : Pisces
§ Sub Kelas : Teleostei
§ Ordo : Ostariophysi
§ Sub Ordo : Siluroidea
§ Family : Bagridae
§ Genus : Mystus
§ Spesies : Mystus nemurus
2.2. Morfologi
Ikan baung mempunyai bentuk
tubuh panjang, licin dan tidak bersisik kepalanya kasar dan depres dengan tiga
pasang sungut di sekeliling mulutdan sepasang dilubang pernapasan; sedangkan
panjang sungut rahang atas hampir mencapai sirip dubur. Pada sirip dada dan sirip punggung,
masing-masing terdapat duri patil. Ikan
baung mempunyai sirip lemak di belakang sirip punggung yang kira-kira sama
dengan sirip dubur. Sirip ekor
berpinggiran tegak dan ujung ekor bagian atas memanjang menyerupai bentuk sungut.
Gambar 1. Ikan Baung (Mystus
nemurus)
2.3. Kebiasaan Hidup Ikan Baung
Ikan baung menyukai
tempat-tempat yang tersembunyi dan tidak aktif keluar dari sarang sebelum hari
petang. Setelah hari gelap ikan baung
akan keluar dengan cepat untuk mencari mangsa, tetapi tetap berada disekitar sarang
dan segera akan masuk sarang bila ada gangguan.
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ikan baung termasuk jenis ikan karnivor dengan susunan
makanan yang terdiri atas ikan, insekta, udang, annelida, nematoda, detritus,
sisa-sisa tumbuhan, atau organik lainnya.
2.4. Cara
Berkembang Biak
Berdasarkan laporan alawi et.al. (1990), ikan baung diperairan
sungai Kampar (Riau) memijah pada sekitar bulan Oktober sampai bulan
Desember. Hal ini merupakan fenomena
umum karena pada saat itu biasanya musim hujan dan sebagian besar ikan diperairan
umum memijah pada awal atau sepanjang musim hujan. Hal ini terjadi karena ikan yang akan memijah
umumnya mencari kawasan yang aman dan banyak makanan.
Kawasan seperti ini didapatkan
pada kawasan rerumputan yang digenangi air pada saat musim hujan tiba. Demikian juga jenis ikan baung mencari tepat
perlindungan dan membuat sarang bila melakukan pemijahan Adapun ciri-ciri induk
ikan baung yang baik dan siap memijah ialah sbb :
Ciri-ciri
induk jantan
§ Warna tubuh dan alat kelamin (genital
papilla) berwarna kemerahan.
§ Panjang badan total 200 mm
§ Berat mencapai 90 gr
Ciri-ciri
induk betina
§ perutnya buncit dan lembut
§ bila diurut keluar telur berbentuk bulat
utuh berwarna coklat bening
§ panjang badan total 200 mm
§ berat badan mencapai 100 gr
Gambar 2. Perbedaan induk jantan dan betina
Untuk fekunditas ikan baung
berada pada rentangan 1.365-160.235 butir.
fekunditas dipengaruhi oleh ukuran ikan (panjang dan berat) dan
umur. Ikan yang berukuran besar
cenderung memiliki fekunditas lebih besar daripada ikan yang berukuran
kecil. Fekunditas yang terbesar adalah
160.235 butir yang terdapat pada ikan baung yang memiliki berat tubuh 2.752 g
dan berat gonad 224 g.
2.5. Metode Pemijahan
Ikan baung termasuk ikan yang
relatif baru untuk dipijahkan, untuk memijahkan ikan baung dilakukan secara
buatan yaitu melalu penyuntikan hormon kepada calon induk. Ikan jantan dan ikan
betina diseleksi dan disimpan dalam bak atau kolam. Induk betina yang telah
matang gonad dapat dilihat dari bentuk perutnya yang relatif membesar dan
permukaan kulit sangat lembut.
Induk yang sudah matang gonad
dibius, kemudian disuntik dengan ekstrak kelanjar hypopisa pada bagian belakang
sirip punggung kerah sirip perut, suntikan pertama menggunakan ekstrak kelenjar
hipophysa ikan mas sebanyak 1 dosis kemudian setelah 6-7 jam disuntik lagi
dengan menggunakan kombinasi ekstrak kelanjar hipophysa dengan HCG,
masing-masing sebanyak 3 dosis dan 200 IU. Induk ikan baung yang sudah disuntik
disimpan secara terpisah.
Pengeluaran telur dilakukan
dengan menggunakan penstripingan induk betina yang telah siap memijah.
Telur-telur yang sudah diurut ditampung dibaskom dan dicampur dengan sperma
induk antan yaitu untuk proses pembuahan. Untuk mendapatkan sperma baung jantan
dilakukan pembelahan kemudian testes dicuci dari darah dan lemak yang melekat.
Selanjutnya sperma dilarutkan dalam larutan garam 0,9 % sebanyak 3 ml. Telur
yang sudah dicampur dengan sperma diaduk secara merata dengan bulu ayam, dan
kemudian ditebar dalam hapa 30 mm yang terletak dalam aquarium atau bak tangki
yang berisi air bersih. Suhu untuk penetasan telur biasanya 26-30 oC.
Telur yang sudah terbuahi akan menetas setelah 20-30 jam.
2.6. Perkembangan Larva
Perkembangan larva dapat
dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pralarva dan tahap pasca larva. Pra larva
merupakan tahap dari mulai menetas hingga habisnya kuning telur, sedangakan
pasca larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya
organ-organ baru. Pada stadia larva, baik morfologi, anatomi maupun fisiologi
ikan masih sangat sederhana. Tubuh larva masih terlihat transparant, sirip dada
dan sirip ekornya sudah terbentuk tetapi masih belum sempurna. Sirip hanya
berentuk tonolan, mulut dan rahang belum berkembang dan usus masih merupakan
lambung lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darah belum sempurna. Selain
perkembangan anatomis dan fisiologis selama stadia larva juga terjadi
perkembangan tingkah laku sebagai konsekuensi ketiga dalam perkembangan larva.
Larva ikan baung yang baru
menetas langsung mengalami pigmentasi mata, sirip dada, sirip ekor, dan sungut.
Setelah 26 jam, mulut mulai membuka dan umur 52 jam larva mulai makan dan pada
saat tersebut bukaan mulut mencapai 0,55 mm. Ketika umur 63.15-72 jam, kuning
telur telah habis sehingga pergerakan larva semakin aktif unuk mencari makanan.
2.7. Wadah Pemeliharaan
Pemeliharan larva dapat
dilakuakan antara lain dalam wadah dalam wadah pemijahan yang sekaligus sebagai
tempat penetasan dengan mengangkat induk yang telah memijah, dalam wadah
penetasan, atau dalam wadah khusus (misalnya seperti akuarimu dan bak yang terbuat dari fiber)
Pemeliharaan larva ikan baung
sebaiknya dilakukan dalam wadah khusus dengan bentuk-bentuk tertentu. Bentuk
yang baik untuk wadah pemeliharaan larva ikan baung adalah yang berbentuk
sirkular dan memiliki dasar berbentuk kerucut, di mana inlet air terletak di
tengah dasar sehingga akumulasi bahan organik dapat dihindari. Debit air yang
diperlukan sebesar 0,5 - 1,0 liter/menit untuk setiap wadah yang bervolume 10
liter. Selain berbentuk sirkular, wadah pemeliharaan larva dapat juga berbentuk
persegi.
Bahan untuk wadah larva ikan
baung dapat berupa fiber, plastik, bak beton, kaca (akuarium), kain saringan
(hapa), atau papan yang dilapisi lembaran plastik. Bahan wadah dari fiber dan
plastik relatiflebih ringan sehingga mudah dipindah-pindahkan dalam pelaksanaan
pembenihan.
2.8. Kualitas Air
Aspek penting dalam pemeliharaan larva ikan adalah kualitas air. Beberapa
kualitas air yang telah diteliti secara khusus dalam pemeliharaan ikan baung
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Nilai Kualitas Air bagi Larva Ikan Baung
Parameter
|
Nilai
Optimal
|
Suhu
(oC)
|
270 – 33oC
|
Salinitas
(ppt)
|
0 – 3 ppt
|
Cahaya
|
gelap-terang
|
Tinggi
air
|
35 cm
|
Media
|
green water
|
Alkalinitas
|
20 - 70
|
Suhu 27°C (suhu kamar) memberikan
hasil terbaik bagi kelangsungan hidup larva ikan baung. Hasil ini memberikan
harapan bagi kegiatan pembenihan skala mmah tangga karena tidak memerlukan alat
khusus untuk meningkatkan suhu air. Salinitas kisaran optimal adalah 0 - 3 ppt,
namun untuk mencegah berbagai bibit penyakit, sebaiknya larva dipelihara pada
media air yang bersalinitas 1 ppt. Untuk mendapatkan salinitas 1 ppt dilakukan
dengan cara melarutkan 1 g garam dalam 1 liter air. Media yang dibutuhkan dapat
berupa air jernih maupun air hijau. Namun, hasilnya akan lebih baik jika larva
ikan baung tersebut dipelihara pada media air hijau.
2.9. Penebaran Larva
Faktor penting dalam penebaran
larva adalah padat penebaran. Padat penebaran untuk larva ikan baung berkisar
10 - 20 ekor/liter air. Penebaran larva dilakukan 1 - 5 hari setelah pengisian
air secara penuh pada tangki pemeliharaan, atau bergantung pada ketersediaan
larva. Hal ini dimaksudkan untuk menginkubasi air sehingga dapat memotong
siklus hidup organisme patogen yang mungkin terdapat pada media ini. Larva yang
ditebar berumur 2 hari atau masih memiliki kuning telur sebanyak kurang lebih
75 %, mata sudah berpigmen, dan mulut sudah terbuka.
Penghitungan larva dilakukan
secara volumetrik dengan mengambil contoh larva dari akuarium penetasan
menggunakan gelas piala bervolume 250 ml sebanyak 5 kali ulangan. Jumlah
rata-rata larva tiap 250 ml ini dikonversikan menjadijumlah larva tiap liter
dan nilai terakhir tersebut digunakan untuk penentuan volume air media
penetasan.
Sebelum ditebar, larva
diaklimatisasi terlebih dahulu terhadap kondisi media air pemeliharaan. Aklimatisasi
larva dilakukan dengan cara membiarkan beberapa saat larva yang diangkut dari
akuarium mengapung di permukaan air tangki. Kemudian, air di dalam tangki
tersebut dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam waskom dengan menggunakan
tangan. Selanjutnya, isi baskom dituangkan ke dalam tangki secara pelan-pelan.
2.10. Pemberian Pakan
Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan pemeliharaan larva adalah pemberian pakan yang cocok
dan waktu pemberian makanan yang tepat, sebab bukaan mulut larva sangat kecil;
sistem pencemaannya masih hangat sederhana (secara anatomis dan fisiologis);
dan pergerakan larva masih terbatas.
Pengetahuan mehgenai
perkembangan bukaan mulut dan sistem pencernaan larva dapat membantu kita untuk
menentukan makanan (pakan) yang cocok bagi larva ikan baung. Namun, dewasa ini
pakan yang lazim diberikan pada larva stadia awal yang bukaan mulutnya besar
adalah kutu air (Daphnia sp. dan Moina sp.); makanan untuk larva yang bukaan
mulutnya sedang adalah Artemia; sedangkan larva yang bukaan mulutnya kecil
adalah Rotifera. Menentukan bukaan mulut larva dapat dilakukan berdasarkan
panjang tubuh larva, sebab terdapat korelasi positif antara lebar bukaan mulut
dan panjang tubuh larva. Korelasi antara panjang dan bukaan mulut larva ikan
baung mengikuti persamaan Y = - 2,1506 + 0,3933 X.
Umumnya, makanan yang
diberikan pada larva stadia awal adalah pakan alami (bukan pakan buatan). Pakan
alami mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencemaan pada larva.
Keberadaan enzim tersebut dalam makanan alami dapat mengantisipasi perkembangan
sistem pencemaan larva stadia awal, termasuk produksi enzim pencernaan.
Mengingat kondisi morfologi,
anatomi, dan fisiologi larva yang telah diuraikan di atas, maka kemampuan larva
untuk mencari, memangsa, dan mencerna makanan masih sangat terbatas. Padahal,
makanan merupakan sumber nutrien dan energi yang dibutuhkan oleh larva untuk
mempertahankan hidupnya. Pada saat kemampuan larva masih sangat terbatas
tersebut, ternyata kuning telur merupakan sumber nutrien dan energi utama bagi
larva selama periode endogenous feeding, yang dimulai saat fertilisasi dan
berakhir saat larva mulai memperoleh pakan dari luar. Oleh karena itu, volume
kuning telur, selain ukuran tubuh, dapat menentukan keberhasilan larva melewati
fase kritis dalam siklus hidupnya.
Larva ikan baung mempunyai
volume kuning telur yang besar (498 mm3) sehingga cadangan makanan
tersebut cukup untuk membangun organ tubuh. Dengan demikian, larva ikan baung
telah siap beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar (exogenous
feeding). Larva ikan ikan baung tersebut sudah mampu memangsa dan mencema
makanan pada saat kuning telur masih tersisa, sehingga di dalam tubuh larva terdapat
dua sumber energi, yaitu kuning telur (endogenous energy) dan pakan dari luar
(exogenous energy). Hal ini sangat mendukung kondisi larva untuk melewati fase
kritis. Sebaliknya, jika saat kuning telur sudah habis dan larva belum dapat
beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar atau kemampuan memangsa dan
mencema makanan belum berkembang, maka larva ikan tersebut dalam kondisi
berbahaya untuk melewati fase kritis. Pada saat tersebut, terjadi kekosongan
sumber energi.
Larva ikan baung berumur 1 - 5
hari dapat diberi pakan alami berupa Artemia salina atau Moina sp. dengan
kepadatan 1 – 2 ekor/ml. Pada saat
berumur 4 - 8 hari, larva ikan baung sudah dapat diberi cincangan cacing
Tubifex sp. dan Daphnia sp. Ketika berumur 7 hari, larva ikan baung dapat
diberi pakan berupa cacing Tubifex sp. sebanyak 10 mg/ekor.
2.11. Penyiponan dan Penggantian Air
Satu minggu pertama, kolam
pemeliharaan larva tidak perlu dilakukan penggantian air. Namun, setelah larva
diberi cacing (cincangan cacing ataupun cacing utuh) perlu dilakukan penyiponan
dan penggantian air sebanyak 10 % setiap pagi sebelum pemberian pakan.
Jika larva ikan baung berenang
di dasar atau di dinding akuarium atau bak, penyiponan harus dilakukan dengan
hati-hati. Agar larva tidak ikut tersedot, ujung alat penyiponan dapat dilapisi
saringan.
Gambar 3. Cara menyipon benih ikan Baung
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. 1998. Proses Pematangan Gonad pada Ikan
Betina
(Teleostei). Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Ikan. Yayasan Dewi
Sri. Bogor.
Effendi, I. 1999. "Pemeliharaan
Larva." Dalam: Makalah Pelatihan Pembenihan Ikan. Proyek Semi-Que.
Institut Pertanian Bogor.
Gaffar, A.K. 1982. "Pertumbuhan
Ikan Baung (Macrones nemurus) yang Diberi Makan Pellet dengan Formulasi Berbeda
di Sangkar Terapung." Dalam: Bulletin Penelitian Perikanan Darat 3
(2) : 8 - 12.
Gaffar A.K. 1998. "Ikan Baung (Mystus nemurus) Si Kumis
dan Perairan Tawar." Dalam: Loka Penelitian Perikanan A ir Tawar.
Palembang.
Hadikoesworo, H. 1986. Penelitian
Ekonomi Budi Daya Perairan di Asia. Gramedia. Jakarta.
Mudjiman, A. 1985. Makanan
Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muflikah, N. 1993. "Pemijahan
Ikan Baung dengan Sistem Rangsangan Hormon." Dalam: Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Suyanto, S.R. 1982. Budi
Daya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tang, U.M., H. Alawi dan
R.M. Putra. 1999. "Pematangan Gonad Ikan Baung pada Pakan dan Lingkungan yang
Berbeda." Dalam: Hayati 6: 10 - 12.
Tang, U.M., H, Alawi dan
Nuraini. 1999. "Pemijahan dan Penetasan Telur Ikan Baung (M. nemurus)."
Dalam: Laporan Hasil Penelitian. ARMP-Universitas
Riau:
Tang, U.M., R. Affandi, R. Widjajakusuma, H. Setianto dan M.F.
Rahardjo. 2000. "Aspek Biologi dan Kebutuhan
Lingkungan Benih Ikan Baung." Dalam: Disertasi Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Yunita, Y. 1996. "Keberhasilan Fertilisasi dan Daya
Tetas Ikan Baung (Mystus planicep) yang Diinduksi dengan Dosis Ovaprim yang
Berbeda." Dalam: Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Riau.
Pekanbaru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar