Pengembangan usaha budidaya ikan air tawar merupakan
salah satu prioritas dalam rangka memenuhi kebutuhan ikan sekaligus diharapkan
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dari sektor perikanan, khususnya
dari komoditas ikan hias. Menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia
memiliki 4.500 jenis ikan hias atau sekitar 60 % dari total jenis ikan hias
yang tersebar di dunia. Pada umumnya budidaya ikan hias dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar domestik, namun seiring dengan perkembangannya pasar
luar negeri menjadi sasaran yang paling potensial. Hal demikian tentu membuka peluang
sebagai penyumbang devisa negara disamping penambah pendapatan masyarakat.
Salah satu komoditas air tawar yang potensial
dikembangkan adalah ikan maanvis (Pterophylum scalare) yang merupakan
salah satu jenis ikan hias air tawar yang disukai oleh para pecinta ikan hias
karena bentuknya sangat indah sehingga ikan ini banyak diminati. Ikan manvis
terdiri dari berbagai strain. Masing-masing strain mempunyai perbedaan yang
khas antar satu dengan yang lain. Teknik pembenihan ikan maanvis relatif mudah
sehingga ikan ini banyak dibudidayakan oleh para pembudidaya ikan hias.II. MENGENAL IKAN MANVIS
2.1
Sistematika
Menurut Lingga Pinus dan Heru Susanto (2003) ikan manvis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum :
Chordata
Subfilum :
Craniata
Superkelas :
Gnathostyes
Subkelas :
Actinopterygii
Superordo :
Teleostei
Subordo :
Cichlidae
Genus :
Pterophyllum
Spesies :
Pterophylum scalare
2.2
Morfologi dan Kebiasaan Ikan Manvis
Manvis
atau yang dikenal juga dengan istilah 'Angel fish' berasal dari perairan
Amazon, Amerika Selatan. Maanvis (Pterophyllum scalare) tergolong ke
dalam famili Cichlidae. Ikan maanvis mempunyai ciri-ciri morfologis dan kebiasaan
sebagai berikut:
- Memiliki
warna dan jenis yang bervariasi
- Bentuk
tubuh pipih, dengan tubuh seperti anak panah
- Sirip
perut dan sirip punggungnya membentang lebar ke arah ekor, sehingga
- tampak
sebagai busur yang berwarna gelap transparan
- Pada
bagian dadanya terdapat dua buah sirip yang panjangnya menjuntaI sampai ke
bagian ekor.
-
Pembenihan Ikan Maanvis (Pterophylum
scalare)
- Menjaga
dan melindungi keturunannya.
- Bersifat
omnivora ; tergolong mudah menerima berbagai jenis makanan dalam berbagai
bentuk dan sumber.
Gambar 1. Ikan manvis (Pterophylum scalare)
Beberapa jenis ikan maanvis yang dikenal dan telah
berkembang di Indonesia antara lain adalah: Diamond (Berlian), Imperial,
Marble dan Black-White, Red eye, Slayer.
Diamond (Berlian)
berwarna perak mengkilat sampai hijau keabuan. Pada bagian kepala atas terdapat
warna kuning hingga coklat kehitaman yang menyusur
sampai
bagian punggung. Maanvis Imperial mempunyai warna dasar perak, tetapi
tubuhnya dihiasi empat buah garis vertikal berwarna hitam/coklat kehitaman.
Maanvis Marble memiliki warna campuran hitam
dan putih yang membentuk garis vertikal.
Sedangkan maanvis Black-White mempunyai warna
hitam menghiasi separuh tubuhnya bagian belakang, dan warna putih menghiasi separuh
bagian depan termasuk bagian kepala.
Selain strain
diatas, maanvis juga ada yang berwarna albino, yakni berwarna kemerahan dengan
ciri khas pada mata yang berwarna merah sehingga dengan tampilan yang unik
seperti ini maka red eye cenderung lebih diminati hobiis sehingga
memiliki nilai ekonomis yang relative tinggi dibandingkan jenis lainnya.
Jenis lain yang tidak kalah menarariknya dari jenis-jenis
ikan maanvis adalah maanvis slayer, jenis ini memiliki ciri khas yang sangat
menonjol dibandingkan dengan jenis lain, sehingga setiap orang dapat dengan
mudah mengidentifikasi jenis ini, yakni dengan melihat tampilan siripnya yang
panjang menjuntai hampir tiga kali lipat ukuran tubuhnya (Team Agro Media,
2004).
III. PEMBENIHAN IKAN MANVIS
1.1
Pemilihan Lokasi Hatchery
Memilih lokasi yang ideal tidak bisa sembarangan karena menyangkut uang
dan kelangsungan usaha. Berikut ini beberapa hal yang patut diperhatikan dalam
memilih lokasi hatchery.
3.1.1
Aspek Sosial
Ekonomi
Dari aspek ekonomi usaha hatchery haruslah menguntungkan, tanpa
mengesampingkan lingkungan sekitarnya (aspek sosial). Maksudnya walaupun usaha
hatchery menguntungkan, namun harus dijaga agar masyarakat sekitarnya tidak
merasa dirugikan akibat pembuangan air bekas yang sembarangan dan sebagainya.
Untuk itu ada beberapa aspek ekonomi dan social yang perlu diperhatikan.
A.
Dekat daerah
pengembangan pmbudidaya
Bila unit hatchery dekat dengan daerah pengembangan budidaya, keuntungan
yang didapat adalah soal pemasaran hasil produksi (benih). Jarak hatchery ke
lokasi pengembangan budi daya maksimum 8 jam agar benih tidak stress atau mati.
B.
Mendukung
kebijaksanaan pembangunan
Negara kita adalah Negara hokum, maka kehadiran hatchery harus mengikuti
peraturan pemerintah setempat. Oleh sebab itu, sebelum membangun hatchery perlu
menghubungi Dinas Perikanan untuk meminta pertimbangan kelayakan usaha. Kalau
dapat dikembangkan, pembenih segera mengurus SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan)
untuk kelancran usahanya.
C.
Dekat sumber
listrik
Sumber energy listrik dalam unit hatchery dapat diibaratkan sebagai
jantung manusia. Tanpa energy listrik, kegiatan operasional pembenihan tidak
berjalan sesuai rencana. Energy listrik digunakan sebagai penggerak blower,
pompa celup, dan penerangan. Karenanya tenaga listrik disalurkan selama 24 jam.
Sumber energy listrik diperoleh dari mesin genset atau PLN. Namun yang baik
didatangkan dari PLN bila ditinjau dari tegangannya maupun kebersihannya. Jika
digunakan genset akan muncul asap sisa pembakaran dan tumpuhan solar yang akan
mengganggu kehidupan larva.
D.
Mudah
mendapatkan air
Air harus mudah didapatkan karena air merupakan media sangat penting bagi
kegiatan pembenihan. Air diperlukan untuk media pemeliharaan dan kebutuhan
manusia sendiri. Air bisa diperoleh dari aliran ledeng (PAM) maupun dengan
jalan membuat sumur sendiri.
E.
Dekat
perkampungan
Dekat dengan perkampungan diharapkan tenaga kerja mudah didapatkan dengan
upah normal. Yang dimaksud dengan tenaga kerja disini adalah tenaga kerja tidak
tetap, misalnya untuk membuat bak. Disamping itu, dari segi keamanan pun akan
terjamin.
3.1.2
Aspek Teknis
1.2
Persiapan sarana dan prasarana
Untuk melaksanakan usaha pembenihan ikan manvis
mutlak dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Dibawah ini adalah sarana dan
prasarana yang diperlukan dalam pembenihan ikan maanvis :
1. Bangunan
hatchery, yang digunakan untuk pembenihan ikan manvis agar terkontrol.
2. Sumber
air ; air yang digunakan untuk pembenihan dapat berasal dari air sumur maupun
PDAMdengan peryaratan air mengandung ph 6,5- 7,5, oksigen terlarut 6-8 ppm dan
nilai dH 4.
3. Pompa
air ; digunakan untuk mendistribusikan air.
4. Blower
; digunakan untuk menyuplai kebutuhan oksigen terlarut dalam akuarium yang
dipasang secara paralel.
5. Bak
penampungan permanen ; dugunakan sebagai wadah penampungan air untuk
menetralkan air yang berasal dari sumbernya sehingga kualitasnya sesuai untuk
media hidup ikan.
6. Instalasi
listrik ; digunakan untuk mengoperasikan pompa, blower, serta penerangan.
7. Freezer
; sebagai penyimpan pakan pakan beku (cacing darah dan daphnia) agar tetap
awet.
8. Akuarium
; digunkan sebagai media pemeliharaan induk, penetasan telur dan pemeliharaan
larva.
- Ukuran
100 x 60 x 60 cm
- Ukuran
100 x 50 x 40 cm
- Ukuran
50 x 50 x 40 cm
- Ukuran
20 x 20 x 15 cm
9. Peralatan
perikanan penunjang
· Seser
:Untuk larva ikan atau makhluk renik lainnya mata jaringnya harus halus. Konstruksinya
disesuaikan dengan ukuran, bentuk dan tempat hidupnya ikan hias.
· Selang
: Untuk mengeringkan atau mengisi air akuarium. Sebagai penyalur oksigen dari blower.
· Alat
Pembersih akuarium : Pisau pembersih kaca (guillet, dll), batu magnit pembersih
kaca, sponge atau lap
· Filter
dengan pompa air : Berfungsi sebagai pembersih air secara mekanis
· Thermometer
: sebagai pengukur suhu
· Heater
dan Thermostat : Berfungsi sebagai pemanas dan pengatur panas air dalam
akuarium
· pH
meter : fungsinya seperti pengatur kadar garam hanya yang diukur adalah
banyaknya kadar ion H dan OH (Hidroksil), dengan mengetahui pH dapat diatur
dengan menambah basa atau asam sesuai dengan pH yang tepat untuk ikan
· Lampu
listrik : Berfungsi sebagai penerangan ditempat gelap, berfungsi sebagai
pemanas air.
· Potongan
paralon : Berfungsi sebagai tempat melekatkan telur manvis.
10. Pakan
alami
11. Obat-obatan
12. Tenaga
kerja, dan lain-lain.
1.3
Seleksi induk
Ikan manvis dapat dijadikan induk setelah umurnya
mencapai 7 bulan dengan ukuran panjang ±7,5 cm. Untuk mencapai hasil yang
optimal, induk harus dipelihara dengan baik, antara lain dengan pemberian pakan
yang baik seperti jentik nyamuk, cacing tubifex, atau chironomous dengan
frekuensi pemberian dua kali sehari (pagi dan sore) karena jenis-jenis pakan
tersebut memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sehingga akan mempercepat
perkembangan gonad.
Disamping pemberian pakan alami juga perlu diseimbangkan
dengan pakan buatan yang dapat ditambah dengan vitamin C yang akan memudahkan
dalam proses ovulasi.
Perbedaan induk jantan dan betina dapat dicirikan
sebagai berikut :
1. Ciri-ciri
induk jantan antara lain :
- Pada
umur yang sama, ukuran tubuh induk jantan lebih besar dibandingkan dengan induk
betina.
- Kepala
induk jantan terlihat agak besar dengan bagian antara mulut ke sirip punggung
berbentuk cembung.
- Bentuk
badan lebih ramping dibandingkan dengan ikan betina.
2. Ciri-ciri
induk betina antara lain :
- Ukuran
tubuh yang lebih kecil.
- Bentuk
kepalanya yang lebih kecil.
- Bagian
perut yang lebih besar/gemuk serta terlihat agak menonjol.
- Bagian
antara sirip punggung dan kepala membentuk garis lurus.
Induk yang siap dipijahkan dapat dilihat dari perut
betinanya yang agak gendut. Penjodohan ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara, diantaranya :
1. Cara
pertama, Sebelum dipijahkan, induk maanvis dipelihara secara missal (jantan
dan betina) terlebih dahulu dalam 1 akuarium besar (ukuran 100 x 60 x 60 cm).
Induk-induk ini akan memilih pasangannya sendiri, lalu pasangan ini dipisahkan
dari kelompoknya dan dimasukan ke akuarim sedang yang berukuran 50 x 50 x 40
cm.
2. Cara
kedua, dengan memelihara induk secara massal (jantan dan betina) pada
suatu akuarium, lalu dibiarkan mencari pasangannya sendiri. Setelah semua
mendapatkan pasangannya, dapat diberikan media penempel telur. Dengan
penggunaan cara ini berarti wadah pemeliharaan induk berfungsi sebagai wadah
pemijahan.
3. Cara
ketiga, pencarian pasangan dapat dilakukan dengan cara menjodohkan
maanvis tanpa menunggu ikan berpasangan. Ketiga cara ini telah banyak dilakukan
dan ternyata produktivitasnya relatif sama.
Namun untuk alasan
teknis cara pertama dan ketiga merupakan cara yang umum dilakukan dalam
pembenihan ikan ini, karena penggunaan air baru dapat memberikan stimulus pada system
syaraf ikan sehingga dapat meningkatkan rangsangan untu memijah.
1.4
Proses pemijahan
Pemijahan dilakukan di akuarium berukuran 50 x 50 x
40 cm dengan ketinggian air ±30 cm. Akuarium dilengkapi dengan aerator untuk menyuplai
oksigen. Ikan maanvis akan menempelkan telurnya pada substrat yang halus,
misalnya potongan pipa paralon, botol, pecahan porselen, pecahan kaca, pecahan
genteng, seng, ataupun dinding akuarium yang telah disiapkan/ditempatkan dalam
akuarium pemijahan. Karena ikan manvis cenderung menyukai suasana yang gelap
dan tenang, maka pada dinding akuarium dapat ditempelkan kertas atau plastik
yang berwarna gelap. Selama masa pemijahan tersebut, induk tetap diberi pakan
berupa cacing tubifex, chironomous atau daphnia (kutu air).
Untuk efektifitas pemijahan, sebaiknya pemijahan
dilakukan hanya satu pasang pada setiap akuarium. Induk maanvis akan memijah
pada malam hari. Pasangan mulai mendekati substrat dan membersihkan permukaan
substrat secara bergantian menggunakan mulutnya, pasangan ini akan berenang
naikturun yang berlangsung sekitar 2-3 jam. Setelah selesai membersihkan substrat
maka pasangan ini akan mulai menggesek-gesekan tubuhnya di dekat substrat
sampai akhirnya induk betina mulai mengeluarkan telurnya dan menempelkannya
pada permukaan substrat satu persatu secara beraturan dengan posisi perut
menggesekan perut pada substrat, induk jantan menyongsong telur-telur tersebut
dengan berenang sejajar substrat dan menyemprotkan spermanya untuk membuahi
semua telur. Proses tersebut berlangsung berulang-ulang sampai seluruh telur
keluar dan dibuahi, yang berlangsung selama 2-3 jam. Jumlah telur yang
dihasilkan setiap induk berkisar antara 600-1.000 butir . (Team Agro Media,
2004).
1.5
Penetasan telur
Setelah proses pemijahan selesai maka sebaiknya
telur yang menempel pada substrat segera dipindahkan ke akuarium penetasan
telur (berukuran 20 x 20 x 15 cm) untuk ditetaskan yang sebelumnya telah
diaerasi selama 1-2 hari. Pada air media penetasan sebaiknya ditambahkan obat
anti jamur, antara lain methyline blue dengan dosis 1 ppm. Peletakan
akuarium pada tempat yang gelap dan terang menghasilkan tingkat penetasan
berbeda, dimana tempat yang agak terang tingkat penetasannya lebih tingi karena
tingkat pertumbuhan jamur relative rendah. Untuk menjaga kestabilan suhu, maka
pada media penetasan telur tersebut digunakan water heater yang dipasang
pada suhu 27-28 oC. Setelah 8-10 jam, telur yang semula bening kekuningan mulai
berubah warna menjadi agak gelap dan dibagian dalamnya kelihatan ada bintik
kecil kehitaman. Perkembangan embrio akan terus berlangsung, sehingga 24-48 jam
setelah pemijahan telur akan menetas dengan derajat penetasan telur (hatching
rate) berkisar 70-90%. Larva akan bergerak-gerak, sebagian kecil ada yang
lepas dari substrat dan jatuh ke dasar akuarium dan sebagian lagi menggantung
pada substrat. Beberapa telur akan mulai ada yang berubah warna menjadi putih
yang menadakan mulai busuk.
1.6
Pemeliharaan larva
Bila proses penetasan telah maksimal maka substrat
penempel telur diangkat, kemudian telur yang tidak menetas dan terkena jamur
disipon menggunakan selang yang kecil. Langkah selanjutnya adalah perawatan
larva hingga berumur ±2 minggu. Perlu diperhatikan bahwa umur 3-10 hari adalah saat
yang krtis bagi kelangsungan hidup larva karena yolk sak sudah mulai habis dan
burayak mulai beradaptasi dengan lingkungan dan makanan dari luar.
Dalam pemeliharaan ikan hias umumnya menggunakan
jenis-jeis pakan
alami.
Pemilihan pakan ini tentunya didasarkan pada berbagai pertimbangan. Penggunaan
pakan alami diyakini relatif tidak menyebabkan penurunaan kualitas air pada
akuarium karena sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan tidak cepat membusuk,
hal ini tentu dberbeda dengan penggunaan pakan buatan yang mudah busuk akibat
terdegradasinya nutrient pakan dalam air sehingga menyebabkan penurunan
kualitas air pemeliharaan. Alasan lain penggunaan pakan alami karena beberapa
jenis yang selalu digunakan memiliki nutrisi yan lebih baik dibandingkan pakan
buatan yang tersedia di pasaran, kalaupun ada yang nutrisinya sangat baik namun
harganyapun relative lebih mahal. Disamping alasan diatas, penggunaan pakan
alami untuk pemeliharaan ikan hias ini karena tersedianya pakan alami dialam
yang cukup atau bila harus membeli harganyapun relatif murah dibandingkan
dengan penggunaan pakan buatan, bahkan ada beberapa pakan alami yang telah dapat
dibudidayakan dengan mudah, sehingga menjamin ketersediaan pakan selama
pemeliharaan, diantaranya : dhapnia, moina, rotifer, dan lain-lain.
Pakan tambahan berupa artemia atau kutu air dapat
diberikan setelah 3 hari hinggga umur ikan mencapai 10 hari dengan frekuensi
pemberian dua kali sehari. Jenis pakan tersebut memiliki kandungan protein yang
tinggi sehingga dapat mendukung dalam pertumbuhan ikan. Penggunaan pakan tambahan
berupa kutu air ini dengan pertimbangan bahwa walaupun kutu air dewasa lebih
besar dari bukaan mulut ikan namun reproduksi kutu air sangat cepat sehingga
anaknya dapat dimakan burayak.
Pada umur burayak mencapai 11 hari pakan tambahan
yang diberikan dapat berupa caing tubifek yang telah diblender terlebih dahulu.
Pemberian pakan ini dapat di campur dengan tubifek yang utuh/hidup. Pemberian
pakan ini dapat dilakukan sampai ikan menmencapai umur15 hari. Disamping hal diatas,
selama pemeliharaan larva perlu dilakukan pengelolaan air, baik kualitas maupun
kuantitas dengan cara pergantian air dan pemasangan aerator untuk menyuplai
oksigen terlarut.
1.7
Pendederan
Setelah berumur ±2 minggu, benih tersebut dapat
dilakukan penjarangan untuk kemudian dilakukan pendederan sampai ikan berumur
satu bulan. Kegiatan pendederan ini dilakukan di dalam akuarium yang lebih besar
(ukuran 100 x 50 x 40 cm) agar tidak terlalu padat dan dapat mempercepat pertumbuhan,
padat tebarnya 70 ekor/m3. Selama pendederan ini pakan tambahan yang diberikan
dapat berupa cacing tubifek utuh atau kutu air untuk mempercepat
pertumbuhannya. Selai itu kualitas dan kuantitas airpun selalu dijaga agar ikan
dapat tumbuh dengan optimal. Kegiatan pendederan ini terus berlangsung hingga
benih mencapai umur satu bulan dengan ukuran yang dicapai biasanya berkisar 2-3
cm.
1.8
Penyakit dan penanggulangannya
Ikan maanvis dikenal cukup peka terhadap serangan
penyakit, untuk itu diperlukan pengelolaan secara baik dengan menjaga kualitas
air dan jumlah pakan yang diberikan. Selama proses pemeliharaan yang
berlangsung selama 30 hari terkadang terjadi berbagai penyakit, diantaranya
velvet, jamur saprolegnia, dan white spot. (Whendarto dan Madyana, 1988)
a.
Velvet
Penyakit ini diakibatkan oleh parasit Oodinium dengan
tanda-tanda ikan yang terjangkit terdapat selaput atau bercak kuning abu-abu di
kulit atau sirip, ikan menggosok-gosokan tubuhnya ke substrat, frekuensi
gerakan insang relative cepat dan biasanya ikan tidak mau makan bahkan apabila
parah akan menyebabkan kematian. Parasit ini dapat menular secara cepat ke ikan
lainnya.
Penanggulangan penyakit ini dengan perendaman
menggunakan garam kristal 1,25 garam per liter air. Bila masih tetap belum
sembuh menggunakan cuprisulfat dengan stok solusen 10 gram/liter dosis
pemakaiannya 1 tetes per 5 liter air. Alternatif lain pengobatan ikan yang
terkena penyaklit ini dengan perendaman menggunakan methyline blue 1%
dengan stok solusen 10 gram/liter dosis pemakaiannya 10 ml/10 liter air.
b.
White
spot
Penyakit yang disebabkan oleh organisme renik
bernama ichthyopthyrius multifilis ini sangat cepat penularannya. Pada
mulanya kelihatan bintik putih di kulit
ikan kemudian menyerang sirip sampai ke insang. Berbeda dengan bintik putih
yang disebabkan jamur, pada bintik putih ini tidak ada bangunan seperti benang
atau serabut. Ikan yang terserang berat umumnya berenang di permukaan air dan menggosokan
badannya ke substrat sehingga akan menimbulkan luka pada kulit atau insangnya,
gerakan insangnya juga akan terlihat lebih cepat. Apabila serangan bintik putih
ini parah dan meluas keseluruh tubuhnya maka akan menyebabkan kematian. Pengobatan
ikan yang terserang bintik putih melalui perendaman menggunakan methyline
blue dengan stok selusen 10 gram/liter dosis pemakaiannya 1 ml/10 liter
air, alternatif lain dengan perendaman menggunakan cuprisulfat dengan
stok solusen 10 gram/liter dosis pemakaiannya 1 tetes per 5 liter air.
c.
Jamur saprolegnia
Jamur saprolegnia merupakan jamur yang umum
menyerang segala jenis ikan air tawar dalam segala tingkatan umur, mulai stadia
telur sampai induk ikan. Biasanya penyakit ini merupakan infeksi sekunder
akibat dari luka, serangan bakteri, dan sebagainya. Gejala penyakit akibat
jamur saprolegnia adalah adanya bangunan seperti kapas berwarna putih, cokelat,
abu-abu atau kehijauan di kulit, sirip, telur, maupun di tempat lainnya.
Penyebaran penyakit ini sangat cepat menular, apabila tidak segera ditangani
maka akan menyebabkan kematian. Perendaman ikan yang terjangkit dapat melalui
perendaman menggunakan methyline blue dengan stok selusen 10 gram/liter
dosis pemakaiannya 1 ml/10 Pembenihan Ikan Maanvis (Pterophylum scalare)
liter air atau dengan menggunakan malachite green dengan dosis yang sama
dengan methyline blue.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimous. Ikan
Hias Air Tawar dan Prospeknya. Jakarta : Departemen Kelautan dan
Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2003.
Deden Daelami
A.S,. Ikan Hias Air Tawar. Jakarta : Penebar Swadaya, 2001.
Heryadi, Dedi
dan Sutadi, Back Yard Usaha Pembenihan Udang Skala Rumah Tangga. Jakarta :
Penebar Swadaya, 1996.
Susanto H, dan
Pinus L,2003. Manvis Si Bidadari Penyayang Anak. Trubus Nomor
179.
Team Agro Media
Pustaka. Maanvis. Jakarta : Agro media Pustaka, 2004.
Whendarto dan
Madyana. Ikan Hias : Pemeliharaan, Penyakit dan Pengobatan. Semarang
: Eka Offset, 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar