Sabtu, 20 Desember 2014

PEMBENIHAN IKAN SI KUMIS PANJANG ALIAS IKAN BAUNG (Mystus nemurus)

I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki wilayah perairan yang cukup luas. Ini membuat Indonesia memiliki jenis ikan yang beranekaragam. Salah satu yang cukup populer adalah ikan baung. Ikan baung hidup di perairan ikan tawar. Ikan ini memiliki sebutan yang berbeda di setaip daerah. Ikan baung menjadi ikan yang cukup digemari masyarakat karena tekstur daging yang lembut, tebal tanpa duri halus dan berwarna putih.

Ikan baung merupakan salah satu jenis ikan konsumsi yang bernilai
protein tinggi, sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Akan tetapi, ikan Baung hanya didapatkan dari penangkapan di alam bebas. Untuk mencegah terjadinya
eksploitasi yang berlebihan pada ikan Baung, akhirnya para pembudidaya ikan mulai melakukan
pembenihan dan pembesaran ikan Baung. Tujuan pengembangan ini adalah untuk menjaga kelestarian habitat ikan Baung itu sendiri karena sampai saat ini produksi ikan baung kebanyakan hanya dapat diperoleh dari alam bebas dikarenakan para pembudidaya ikan yang baru mulai berkembang setelah ditemukan teknik budidaya baung yang intensif, sehingga bukan tidak mungkin akan terjadi eksploitasi yang berlebihan pada ikan ini (Gaffar, 1998). Untuk itu  perlu dilakukan perbanyakan keturunan terhadap ikan ini untuk mencegah terjadinya kepunahan.



II.  MENGENAL IKAN BAUNG

2.1.  Klasifikasi Ikan Baung
Ikan baung di klasifikasikan ke dalam :
§  Phylum               :  Chordata
§  Kelas                  :  Pisces
§  Sub Kelas           :  Teleostei
§  Ordo                   :  Ostariophysi
§  Sub Ordo           :  Siluroidea
§  Family                :  Bagridae
§  Genus                 :  Mystus
§  Spesies               :  Mystus  nemurus

2.2.  Morfologi
Ikan baung mempunyai bentuk tubuh panjang, licin dan tidak bersisik kepalanya kasar dan depres dengan tiga pasang sungut di sekeliling mulutdan sepasang dilubang pernapasan; sedangkan panjang sungut rahang atas hampir mencapai sirip dubur.  Pada sirip dada dan sirip punggung, masing-masing terdapat duri patil.  Ikan baung mempunyai sirip lemak di belakang sirip punggung yang kira-kira sama dengan sirip dubur.  Sirip ekor berpinggiran tegak dan ujung ekor bagian atas memanjang menyerupai  bentuk sungut.

Gambar 1.  Ikan Baung (Mystus  nemurus)

2.3.  Kebiasaan Hidup Ikan Baung
Ikan baung menyukai tempat-tempat yang tersembunyi dan tidak aktif keluar dari sarang sebelum hari petang.   Setelah hari gelap ikan baung akan keluar dengan cepat untuk mencari mangsa, tetapi tetap berada disekitar sarang dan segera akan masuk sarang bila ada gangguan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ikan baung termasuk jenis ikan karnivor dengan susunan makanan yang terdiri atas ikan, insekta, udang, annelida, nematoda, detritus, sisa-sisa tumbuhan, atau organik lainnya.

2.4.  Cara Berkembang Biak
Berdasarkan laporan alawi et.al. (1990), ikan baung diperairan sungai Kampar (Riau) memijah pada sekitar bulan Oktober sampai bulan Desember.  Hal ini merupakan fenomena umum karena pada saat itu biasanya musim hujan dan sebagian besar ikan diperairan umum memijah pada awal atau sepanjang musim hujan.  Hal ini terjadi karena ikan yang akan memijah umumnya mencari kawasan yang aman dan banyak makanan.
Kawasan seperti ini didapatkan pada kawasan rerumputan yang digenangi air pada saat musim hujan tiba.  Demikian juga jenis ikan baung mencari tepat perlindungan dan membuat sarang bila melakukan pemijahan Adapun ciri-ciri induk ikan baung yang baik dan siap memijah ialah sbb :
*            Ciri-ciri induk jantan
§  Warna tubuh dan alat kelamin (genital papilla) berwarna kemerahan.
§  Panjang badan total 200 mm
§  Berat mencapai 90 gr
*            Ciri-ciri induk betina
§  perutnya buncit dan lembut
§  bila diurut keluar telur berbentuk bulat utuh berwarna coklat bening
§  panjang badan total 200 mm
§  berat badan mencapai 100 gr

 Gambar 2. Perbedaan induk jantan dan betina


 
Untuk fekunditas ikan baung berada pada rentangan 1.365-160.235 butir.  fekunditas dipengaruhi oleh ukuran ikan (panjang dan berat) dan umur.  Ikan yang berukuran besar cenderung memiliki fekunditas lebih besar daripada ikan yang berukuran kecil.  Fekunditas yang terbesar adalah 160.235 butir yang terdapat pada ikan baung yang memiliki berat tubuh 2.752 g dan berat gonad 224 g.

2.5.  Metode Pemijahan
Ikan baung termasuk ikan yang relatif baru untuk dipijahkan, untuk memijahkan ikan baung dilakukan secara buatan yaitu melalu penyuntikan hormon kepada calon induk. Ikan jantan dan ikan betina diseleksi dan disimpan dalam bak atau kolam. Induk betina yang telah matang gonad dapat dilihat dari bentuk perutnya yang relatif membesar dan permukaan kulit sangat lembut.
Induk yang sudah matang gonad dibius, kemudian disuntik dengan ekstrak kelanjar hypopisa pada bagian belakang sirip punggung kerah sirip perut, suntikan pertama menggunakan ekstrak kelenjar hipophysa ikan mas sebanyak 1 dosis kemudian setelah 6-7 jam disuntik lagi dengan menggunakan kombinasi ekstrak kelanjar hipophysa dengan HCG, masing-masing sebanyak 3 dosis dan 200 IU. Induk ikan baung yang sudah disuntik disimpan secara terpisah.
Pengeluaran telur dilakukan dengan menggunakan penstripingan induk betina yang telah siap memijah. Telur-telur yang sudah diurut ditampung dibaskom dan dicampur dengan sperma induk antan yaitu untuk proses pembuahan. Untuk mendapatkan sperma baung jantan dilakukan pembelahan kemudian testes dicuci dari darah dan lemak yang melekat. Selanjutnya sperma dilarutkan dalam larutan garam 0,9 % sebanyak 3 ml. Telur yang sudah dicampur dengan sperma diaduk secara merata dengan bulu ayam, dan kemudian ditebar dalam hapa 30 mm yang terletak dalam aquarium atau bak tangki yang berisi air bersih. Suhu untuk penetasan telur biasanya 26-30 oC. Telur yang sudah terbuahi akan menetas setelah 20-30 jam.

2.6.  Perkembangan  Larva
Perkembangan larva dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pralarva dan tahap pasca larva. Pra larva merupakan tahap dari mulai menetas hingga habisnya kuning telur, sedangakan pasca larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru. Pada stadia larva, baik morfologi, anatomi maupun fisiologi ikan masih sangat sederhana. Tubuh larva masih terlihat transparant, sirip dada dan sirip ekornya sudah terbentuk tetapi masih belum sempurna. Sirip hanya berentuk tonolan, mulut dan rahang belum berkembang dan usus masih merupakan lambung lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darah belum sempurna. Selain perkembangan anatomis dan fisiologis selama stadia larva juga terjadi perkembangan tingkah laku sebagai konsekuensi ketiga dalam  perkembangan larva.
Larva ikan baung yang baru menetas langsung mengalami pigmentasi mata, sirip dada, sirip ekor, dan sungut. Setelah 26 jam, mulut mulai membuka dan umur 52 jam larva mulai makan dan pada saat tersebut bukaan mulut mencapai 0,55 mm. Ketika umur 63.15-72 jam, kuning telur telah habis sehingga pergerakan larva semakin aktif unuk mencari makanan.

2.7.  Wadah Pemeliharaan

Pemeliharan larva dapat dilakuakan antara lain dalam wadah dalam wadah pemijahan yang sekaligus sebagai tempat penetasan dengan mengangkat induk yang telah memijah, dalam wadah penetasan, atau dalam wadah khusus (misalnya seperti akuarimu dan bak yang terbuat dari fiber)

 Pemeliharaan larva ikan baung sebaiknya dilakukan dalam wadah khusus dengan bentuk-bentuk tertentu. Bentuk yang baik untuk wadah pemeliharaan larva ikan baung adalah yang berbentuk sirkular dan memiliki dasar berbentuk kerucut, di mana inlet air terletak di tengah dasar sehingga akumulasi bahan organik dapat dihindari. Debit air yang diperlukan sebesar 0,5 - 1,0 liter/menit untuk setiap wadah yang bervolume 10 liter. Selain berbentuk sirkular, wadah pemeliharaan larva dapat juga berbentuk persegi.
Bahan untuk wadah larva ikan baung dapat berupa fiber, plastik, bak beton, kaca (akuarium), kain saringan (hapa), atau papan yang dilapisi lembaran plastik. Bahan wadah dari fiber dan plastik relatiflebih ringan sehingga mudah dipindah-pindahkan dalam pelaksanaan pembenihan.

2.8.  Kualitas Air

Aspek penting dalam pemeliharaan larva ikan adalah kualitas air. Beberapa kualitas air yang telah diteliti secara khusus dalam pemeliharaan ikan baung disajikan pada Tabel 1.
 

Tabel 1. Beberapa Nilai Kualitas Air bagi Larva Ikan Baung


Parameter
Nilai Optimal
Suhu (oC)
270 – 33oC
Salinitas (ppt)
0 – 3 ppt
Cahaya
gelap-terang
Tinggi air
35 cm
Media
green water
Alkalinitas
20 - 70

   
Suhu 27°C (suhu kamar) memberikan hasil terbaik bagi kelangsungan hidup larva ikan baung. Hasil ini memberikan harapan bagi kegiatan pembenihan skala mmah tangga karena tidak memerlukan alat khusus untuk meningkatkan suhu air. Salinitas kisaran optimal adalah 0 - 3 ppt, namun untuk mencegah berbagai bibit penyakit, sebaiknya larva dipelihara pada media air yang bersalinitas 1 ppt. Untuk mendapatkan salinitas 1 ppt dilakukan dengan cara melarutkan 1 g garam dalam 1 liter air. Media yang dibutuhkan dapat berupa air jernih maupun air hijau. Namun, hasilnya akan lebih baik jika larva ikan baung tersebut dipelihara pada media air hijau.

2.9.  Penebaran Larva

Faktor penting dalam penebaran larva adalah padat penebaran. Padat penebaran untuk larva ikan baung berkisar 10 - 20 ekor/liter air. Penebaran larva dilakukan 1 - 5 hari setelah pengisian air secara penuh pada tangki pemeliharaan, atau bergantung pada ketersediaan larva. Hal ini dimaksudkan untuk menginkubasi air sehingga dapat memotong siklus hidup organisme patogen yang mungkin terdapat pada media ini. Larva yang ditebar berumur 2 hari atau masih memiliki kuning telur sebanyak kurang lebih 75 %, mata sudah berpigmen, dan mulut sudah terbuka.


Penghitungan larva dilakukan secara volumetrik dengan mengambil contoh larva dari akuarium penetasan menggunakan gelas piala bervolume 250 ml sebanyak 5 kali ulangan. Jumlah rata-rata larva tiap 250 ml ini dikonversikan menjadijumlah larva tiap liter dan nilai terakhir tersebut digunakan untuk penentuan volume air media penetasan.
Sebelum ditebar, larva diaklimatisasi terlebih dahulu terhadap kondisi media air pemeliharaan. Aklimatisasi larva dilakukan dengan cara membiarkan beberapa saat larva yang diangkut dari akuarium mengapung di permukaan air tangki. Kemudian, air di dalam tangki tersebut dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam waskom dengan menggunakan tangan. Selanjutnya, isi baskom dituangkan ke dalam tangki secara pelan-pelan.

2.10.  Pemberian Pakan

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemeliharaan larva adalah pemberian pakan yang cocok dan waktu pemberian makanan yang tepat, sebab bukaan mulut larva sangat kecil; sistem pencemaannya masih hangat sederhana (secara anatomis dan fisiologis); dan pergerakan larva masih terbatas.
Pengetahuan mehgenai perkembangan bukaan mulut dan sistem pencernaan larva dapat membantu kita untuk menentukan makanan (pakan) yang cocok bagi larva ikan baung. Namun, dewasa ini pakan yang lazim diberikan pada larva stadia awal yang bukaan mulutnya besar adalah kutu air (Daphnia sp. dan Moina sp.); makanan untuk larva yang bukaan mulutnya sedang adalah Artemia; sedangkan larva yang bukaan mulutnya kecil adalah Rotifera. Menentukan bukaan mulut larva dapat dilakukan berdasarkan panjang tubuh larva, sebab terdapat korelasi positif antara lebar bukaan mulut dan panjang tubuh larva. Korelasi antara panjang dan bukaan mulut larva ikan baung mengikuti persamaan Y = - 2,1506 + 0,3933 X.
Umumnya, makanan yang diberikan pada larva stadia awal adalah pakan alami (bukan pakan buatan). Pakan alami mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencemaan pada larva. Keberadaan enzim tersebut dalam makanan alami dapat mengantisipasi perkembangan sistem pencemaan larva stadia awal, termasuk produksi enzim pencernaan.
Mengingat kondisi morfologi, anatomi, dan fisiologi larva yang telah diuraikan di atas, maka kemampuan larva untuk mencari, memangsa, dan mencerna makanan masih sangat terbatas. Padahal, makanan merupakan sumber nutrien dan energi yang dibutuhkan oleh larva untuk mempertahankan hidupnya. Pada saat kemampuan larva masih sangat terbatas tersebut, ternyata kuning telur merupakan sumber nutrien dan energi utama bagi larva selama periode endogenous feeding, yang dimulai saat fertilisasi dan berakhir saat larva mulai memperoleh pakan dari luar. Oleh karena itu, volume kuning telur, selain ukuran tubuh, dapat menentukan keberhasilan larva melewati fase kritis dalam siklus hidupnya.
Larva ikan baung mempunyai volume kuning telur yang besar (498 mm3) sehingga cadangan makanan tersebut cukup untuk membangun organ tubuh. Dengan demikian, larva ikan baung telah siap beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar (exogenous feeding). Larva ikan ikan baung tersebut sudah mampu memangsa dan mencema makanan pada saat kuning telur masih tersisa, sehingga di dalam tubuh larva terdapat dua sumber energi, yaitu kuning telur (endogenous energy) dan pakan dari luar (exogenous energy). Hal ini sangat mendukung kondisi larva untuk melewati fase kritis. Sebaliknya, jika saat kuning telur sudah habis dan larva belum dapat beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar atau kemampuan memangsa dan mencema makanan belum berkembang, maka larva ikan tersebut dalam kondisi berbahaya untuk melewati fase kritis. Pada saat tersebut, terjadi kekosongan sumber energi.
Larva ikan baung berumur 1 - 5 hari dapat diberi pakan alami berupa Artemia salina atau Moina sp. dengan kepadatan 1 – 2  ekor/ml. Pada saat berumur 4 - 8 hari, larva ikan baung sudah dapat diberi cincangan cacing Tubifex sp. dan Daphnia sp. Ketika berumur 7 hari, larva ikan baung dapat diberi pakan berupa cacing Tubifex sp. sebanyak 10 mg/ekor.

2.11.  Penyiponan dan Penggantian Air

Satu minggu pertama, kolam pemeliharaan larva tidak perlu dilakukan penggantian air. Namun, setelah larva diberi cacing (cincangan cacing ataupun cacing utuh) perlu dilakukan penyiponan dan penggantian air sebanyak 10 % setiap pagi sebelum pemberian pakan.
Jika larva ikan baung berenang di dasar atau di dinding akuarium atau bak, penyiponan harus dilakukan dengan hati-hati. Agar larva tidak ikut tersedot, ujung alat penyiponan dapat dilapisi saringan.
 Gambar 3. Cara menyipon benih ikan Baung



DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. 1998. Proses Pematangan Gonad pada Ikan Betina (Teleostei). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Effendi, I. 1999. "Pemeliharaan Larva." Dalam: Makalah Pelatihan Pembenihan Ikan. Proyek Semi-Que. Institut Pertanian Bogor.

Gaffar, A.K. 1982. "Pertumbuhan Ikan Baung (Macrones nemurus) yang Diberi Makan Pellet dengan Formulasi Berbeda di Sangkar Terapung." Dalam: Bulletin Penelitian Perikanan Darat 3 (2) : 8 - 12.

Gaffar A.K. 1998. "Ikan Baung (Mystus nemurus) Si Kumis dan Perairan Tawar." Dalam: Loka Penelitian Perikanan A ir Tawar. Palembang.

Hadikoesworo, H. 1986. Penelitian Ekonomi Budi Daya Perairan di Asia. Gramedia. Jakarta.

Mudjiman, A. 1985. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muflikah, N. 1993. "Pemijahan Ikan Baung dengan Sistem Rangsangan Hormon." Dalam: Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Suyanto, S.R. 1982. Budi Daya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tang, U.M., H. Alawi dan R.M. Putra. 1999. "Pematangan Gonad Ikan Baung pada Pakan dan Lingkungan yang Berbeda." Dalam: Hayati 6: 10 - 12.

Tang, U.M., H, Alawi dan Nuraini. 1999. "Pemijahan dan Penetasan Telur Ikan Baung (M. nemurus)." Dalam: Laporan Hasil Penelitian.  ARMP-Universitas Riau:

Tang, U.M., R. Affandi, R. Widjajakusuma, H. Setianto dan M.F. Rahardjo. 2000. "Aspek Biologi dan Kebutuhan Lingkungan Benih Ikan Baung." Dalam: Disertasi Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Yunita, Y. 1996. "Keberhasilan Fertilisasi dan Daya Tetas Ikan Baung (Mystus planicep) yang Diinduksi dengan Dosis Ovaprim yang Berbeda." Dalam: Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Riau. Pekanbaru.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar